Memaknai “Persatuan Indonesia” di Tengah Gelombang Disrupsi: Sebuah Refleksi Akademis


 

Pendahuluan

Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa telah menjadi fondasi kokoh berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari kelima silanya, Sila Ketiga, “Persatuan Indonesia”, menempati posisi yang strategis sebagai prasyarat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Kaelan, 2012). Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, cita-cita untuk “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia” mustahil diwujudkan tanpa adanya persatuan yang solid.

Namun, realitas zaman menuntut pemaknaan yang tidak hanya tekstual. Dunia yang semakin terhubung (hyper-connected) membawa serta tantangan baru seperti penyebaran hoaks, polarisasi sosial, dan erosi rasa saling percaya. Oleh karena itu, refleksi mendalam terhadap Sila Ketiga menjadi sebuah keniscayaan akademis untuk memastikan bahwa nilai luhur tersebut tetap relevan dan aplikatif.

1. Makna Filosofis: Persatuan yang Dibangun di atas Keragaman

Berbeda dengan konsep nasionalisme etnosentris yang mendasarkan persatuan pada kesamaan suku atau ras, nasionalisme Indonesia justru dibangun di atas platform yang sangat plural. Sila Ketiga merupakan sebuah kesepakatan luhur (civic nationalism) untuk bersatu sebagai sebuah bangsa, meskipun terdiri dari berbagai suku, agama, bahasa, dan budaya (Latif, 2011). Konsep “Bhinneka Tunggal Ika” adalah manifestasi nyata dari Sila ini—berbeda-beda tetapi tetap satu.

Persatuan dalam konteks ini bukanlah penyeragaman atau asimilasi paksa, melainkan integrasi. Sebagaimana diungkapkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, persatuan Indonesia adalah persatuan dalam keragaman (unity in diversity), di mana setiap elemen bangsa merasa memiliki ruang untuk tumbuh sekaligus merasa menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar (Asshiddiqie, 2010). Persatuan semacam inilah yang bersifat inklusif dan berkelanjutan.

2. Tantangan Kontemporer terhadap Nilai Persatuan

Di era disrupsi ini, setidaknya terdapat tiga tantangan besar yang menguji ketahanan persatuan nasional:

a. Disrupsi Digital dan Media Sosial
Ruang digital telah menjadi medan baru pertarungan narasi. Algorithmic bias pada media sosial cenderung menciptakan echo chamber atau filter bubble, di mana seseorang hanya terpapar informasi yang sesuai dengan pandangannya. Hal ini memicu polarisasi dan sulitnya membangun percakapan yang sehat antarkelompok yang berbeda (Pariser, 2011).
Hoaks dan ujaran kebencian menyebar lebih cepat daripada informasi yang valid, merusak ikatan sosial dan meracuni publik.

b. Politik Identitas yang Eksklusif
Menguatnya politik identitas yang mengedepankan simbol-simbol primordial tertentu (seperti suku, agama, atau aliran) seringkali mengabaikan kepentingan nasional yang lebih luas. Politik semacam ini berpotensi memecah belah dan mengikis rasa kebangsaan yang inklusif (
Sen, 2006).

c. Kesenjangan Ekonomi dan Ketimpangan
Persatuan yang hakiki sulit diwujudkan jika kesenjangan ekonomi dan ketimpangan antarwilayah masih lebar. Perasaan tidak adil dan ditinggalkan dapat menjadi bibit-bibit disintegrasi yang mengancam persatuan nasional.

3. Aktualisasi Sila Ketiga dalam Konteks Kekinian: Sebuah Panggilan untuk Aksi

Menghadapi tantangan tersebut, aktualisasi Sila Ketiga harus bergerak dari sekadar slogan menjadi aksi kolektif yang nyata.

a. Memperkuat Literasi Digital dan Kebhinekaan di Dunia Pendidikan.
Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, memegang peran kunci. Kurikulum tidak hanya harus mencakup literasi digital kritis (critical digital literacy) untuk melawan hoaks, tetapi juga harus memperkuat pendidikan multikulturalisme. Dialog antarbudaya, pertukaran pelajar antar daerah, dan kajian-kajian kritis tentang isu-isu kebangsaan harus menjadi bagian integral dari proses pembelajaran (
Banks, 2009).

b. Membangun Narasi Inklusif di Ruang Publik.
Seluruh elemen bangsa, termasuk pemerintah, media massa, dan masyarakat sipil, harus aktif membangun narasi yang mempersatukan, bukan memecah belah. Media massa memiliki tanggung jawab untuk memberitakan secara berimbang dan mempromosikan toleransi. Para pemimpin perlu menjadi teladan dalam menyampaikan pesan-pesan persatuan.

c. Memperkuat Perekonomian yang Berkeadilan.
Pemerintah harus konsisten dalam melaksanakan pembangunan yang inklusif dan merata. Penguatan infrastruktur, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, serta pemberantasan korupsi adalah wujud nyata dari komitmen terhadap keadilan sosial, yang pada akhirnya akan memperkuat pondasi persatuan.

Kesimpulan dan Refleksi

Sila Ketiga, “Persatuan Indonesia”, adalah sebuah proyek besar yang tidak pernah selesai. Ia bukanlah kondisi final, melainkan proses dinamis yang harus terus diperjuangkan. Di tengah gelombang disrupsi, makna persatuan justru semakin penting: ia adalah kemampuan kolektif bangsa untuk tetap solid, inklusif, dan resilien dalam menghadapi perubahan.

Sebagai insan akademik, kita memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk menjadi agent of change dan guardian of values. Melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat—kita dapat mengaktualisasikan nilai Persatuan Indonesia dengan cara yang cerdas, kritis, dan membangun. Mari kita jadikan kampus sebagai laboratorium persatuan, tempat dimana keragaman bukanlah ancaman, melainkan sumber kekuatan untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan. 

(Penulis; Budi Santosa, M.A., M.Th.)


Daftar Refensi

1. Kaelan. (2012). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
2. Yudi Latif. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.          Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
3. Jimly Asshiddiqie. (2010). Gagasan Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Sekretariat               Jenderal  dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
4. Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You. New York:     Penguin Press.
5. Amartya Sen. (2006). Identity and Violence: The Illusion of Destiny. New York: W.W. Norton    & Company.
6. Banks, J. A. (2009). The Routledge International Companion to Multicultural Education.   New York: Routledge.
7. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Posting Komentar

0 Komentar