Di tengah derasnya arus digitalisasi, keterbukaan informasi menjadi salah
satu kunci penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia sendiri
telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP) yang menegaskan hak setiap warga negara untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif. UU ini menjadi
pijakan penting bagi tumbuhnya budaya transparansi, akuntabilitas, sekaligus
partisipasi publik dalam kehidupan demokrasi.
Namun, di balik regulasi modern itu, sebenarnya ada dasar teologis yang
jauh lebih tua dan mendasar, yakni apa yang disebut “Amanat Kebudayaan”
dalam Kitab Kejadian 1:26–28. Ayat ini menegaskan mandat Allah kepada manusia
untuk berkuasa atas ciptaan, mengelola bumi, dan mengisinya dengan tanggung
jawab. Bagi orang Kristen, amanat ini tidak hanya bicara soal ekologi atau
pembangunan, tetapi juga menyentuh soal bagaimana kita berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik, termasuk dalam hal keterbukaan informasi.
Amanat Kebudayaan: Dasar
Teologis dari Kejadian 1:26–28
Kitab Kejadian 1:26–28 mencatat firman Allah kepada manusia:
"Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, dan
atas ternak, dan atas seluruh bumi dan segala binatang melata yang merayap di
bumi." (Kejadian 1:26)
Tiga pokok penting dapat diambil dari teks ini:
- Imago Dei (gambar Allah) – manusia diciptakan menurut rupa Allah. Ini
menegaskan bahwa manusia memiliki martabat, tanggung jawab moral, dan
kapasitas relasional.
- Mandat untuk berkuasa (dominion) – bukan berarti mengeksploitasi, melainkan
mengelola dan memelihara. Kekuasaan di sini adalah bentuk stewardship
(penatalayanan).
- Perintah untuk berkembang biak dan memenuhi
bumi – manusia diminta aktif membangun kebudayaan,
peradaban, dan tata sosial yang adil.
Dalam tradisi teologi Reformed, teks ini dikenal sebagai cultural
mandate. Artinya, sejak awal manusia dipanggil untuk membangun budaya yang
mencerminkan karakter Allah: adil, benar, dan penuh kasih. Kebudayaan yang
lahir dari mandat ini bukanlah semata karya seni atau tradisi, tetapi juga
sistem sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
UU Keterbukaan Informasi
Publik: Konteks Demokrasi Indonesia
Setelah era reformasi 1998, Indonesia menapaki jalan panjang menuju
demokrasi yang lebih transparan. Salah satu tonggak penting adalah lahirnya UU
No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tujuannya sederhana
tetapi fundamental: menjamin hak warga untuk mengetahui, mengakses, dan
memanfaatkan informasi yang dimiliki oleh badan publik.
Beberapa poin penting UU KIP:
- Hak atas informasi
adalah hak asasi setiap warga negara.
- Badan publik
(pemerintah, lembaga negara, BUMN, bahkan organisasi non-pemerintah yang
menerima dana publik) wajib menyediakan informasi secara terbuka.
- Pengecualian informasi hanya berlaku pada hal-hal tertentu, misalnya
menyangkut rahasia negara, data pribadi, atau keamanan nasional.
- Mekanisme penyelesaian sengketa informasi disediakan melalui Komisi Informasi.
Titik Temu: Mandat Budaya
dan UU Keterbukaan Informasi
Sekilas, teks Kitab Kejadian dan UU KIP terlihat seperti dua hal yang
berbeda: satu dari Alkitab, satunya dari hukum negara. Namun bila ditelaah,
keduanya memiliki jembatan penghubung.
- Transparansi sebagai wujud tanggung jawab penatalayananManusia sebagai gambar Allah dipanggil untuk mengelola ciptaan dengan jujur. Dalam konteks modern, mengelola masyarakat dan negara butuh transparansi. UU KIP menuntut pejabat publik membuka informasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
- Partisipasi sebagai perwujudan mandat untuk "mengisi bumi"Mengisi bumi bukan hanya beranak cucu, tetapi juga aktif membangun peradaban. Partisipasi dalam keterbukaan informasi adalah salah satu bentuk kontribusi membangun masyarakat yang adil dan beradab.
- Keadilan sosial sebagai cermin karakter AllahAllah adalah Allah yang adil. Keadilan hanya bisa ditegakkan bila informasi tersedia secara merata, bukan hanya untuk segelintir elit. UU KIP menjadi sarana untuk mewujudkan nilai keadilan yang sejalan dengan mandat budaya.
Mengapa Orang Kristen Harus
Peduli Keterbukaan Informasi?
Bagi pribadi Kristiani, kepedulian terhadap keterbukaan informasi bukan
sekadar urusan politik atau hukum, tetapi bagian dari panggilan iman. Ada
beberapa alasan:
- Kesaksian iman di ruang publikDunia menilai integritas iman bukan hanya dari doa atau ibadah, tetapi juga dari sikap dalam kehidupan bermasyarakat. Orang Kristen yang peduli keterbukaan informasi menunjukkan keseriusan menghidupi nilai kejujuran dan kebenaran.
- Mencegah penyalahgunaan kuasaSejarah menunjukkan bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme subur karena tertutupnya informasi. Dengan terlibat dalam budaya transparansi, umat Kristiani turut mencegah praktik yang merugikan rakyat kecil.
- Mendorong partisipasi aktifDemokrasi tidak bisa sehat tanpa warga yang kritis dan informatif. Dengan memanfaatkan hak atas informasi, orang Kristen bisa lebih aktif dalam mengawasi kebijakan publik dan memberi kontribusi positif.
Contoh Implementasi dalam
Kehidupan Sehari-hari
Implementasi Amanat Kebudayaan dalam konteks UU KIP dapat dilakukan oleh
pribadi Kristiani dalam berbagai lingkup:
- Lingkungan Gereja
- Gereja dapat menerapkan prinsip keterbukaan
dalam laporan keuangan, program, dan keputusan majelis. Ini mencerminkan
transparansi yang sehat dan memberi teladan bagi jemaat.
- Liturgi atau khotbah bisa mengangkat isu
keadilan informasi sebagai bagian dari panggilan etis.
- Dunia Kerja dan Profesional
- Seorang pegawai negeri atau pejabat publik
Kristen wajib menjalankan amanat UU KIP dengan menyediakan informasi yang
akurat bagi masyarakat.
- Profesional di bidang media massa dapat
mengedepankan jurnalisme yang jujur dan bertanggung jawab.
- Komunitas Lokal
- Aktivis Kristiani bisa menggunakan UU KIP
untuk meminta data penggunaan anggaran desa, sehingga pembangunan lebih
tepat sasaran.
- Anak muda Kristen dapat memanfaatkan platform
digital untuk menyebarkan informasi publik yang bermanfaat bagi
masyarakat sekitar.
Tantangan dan Peluang
Meski UU KIP sudah berlaku sejak 2008, implementasinya masih menghadapi
tantangan:
- Budaya birokrasi yang masih tertutup: beberapa lembaga publik enggan membuka data.
- Kurangnya literasi hukum: banyak warga, termasuk umat Kristen, belum
tahu cara menggunakan hak atas informasi.
- Risiko misinformasi dan hoaks: keterbukaan tanpa literasi digital justru
bisa menimbulkan kebingungan.
Namun di balik tantangan, ada peluang besar:
- Orang Kristen bisa menjadi pelopor literasi
informasi yang sehat.
- Gereja dapat menjadi ruang edukasi publik soal
keterbukaan informasi.
- Aktivis muda Kristiani dapat memanfaatkan UU
KIP untuk memperjuangkan isu-isu sosial seperti lingkungan, pendidikan,
dan kesehatan.
Kesimpulan
Amanat Kebudayaan dalam Kejadian 1:26–28 memberi fondasi teologis bahwa
manusia dipanggil mengelola bumi dengan tanggung jawab, transparansi, dan
keadilan. Di sisi lain, UU Keterbukaan Informasi Publik menjadi instrumen hukum
yang memungkinkan partisipasi warga dalam demokrasi modern.
Bagi orang Kristen Indonesia, menghubungkan kedua hal ini adalah sebuah
panggilan iman: mempraktikkan iman bukan hanya di ruang ibadah, tetapi juga
di ruang publik dengan cara mendukung keterbukaan informasi, berpartisipasi
aktif, dan menegakkan keadilan sosial.
Dengan demikian, keterlibatan dalam keterbukaan informasi bukan sekadar
kewajiban hukum, tetapi juga bagian dari ketaatan pada Allah yang memberi
amanat kebudayaan sejak awal penciptaan.
Kepustakaan
- Alkitab Terjemahan Baru. Lembaga Alkitab
Indonesia, 2000.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
- Kuyper, Abraham. Lectures on Calvinism.
Grand Rapids: Eerdmans, 1931.
- Stott, John. Isu-Isu Global yang Dihadapi
Umat Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
- Susanto, Eko. Keterbukaan Informasi Publik
di Era Reformasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
- Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan.
Jakarta: Gramedia, 2010.
0 Komentar