Jurnalpelayanan.com - Penulisan buku ini dilatarbelakangi oleh penulis yang mneyadari bahwa setiap masalah yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat khususnya Gereja, tidak dapat dikerjakan hanya dengan mempertimbangkan satu segi saja tanpa melihat pengaruh-pengaruh yang lainnya. Hal ini dikarenakan tiap-tiap persoalan atau masalah selalu dipengaruhi oleh lingkungan dan masa lalunya. Oleh sebab itu, merupakan suatu keharusan bagi tiap anak-anak Tuhan yang akan memulai suatu pekerjaan di dalam Gereja untuk mempelajari Sejarah Gereja dan pengaruh-pengaruh lingkungannya terhadap Gereja itu. Sejarah lahirnya Gereja di Bali sampai terbentuknya sinode Gereja Kristen Protestan di Bali.
Judul Buku : Sejarah Gereja Bali
Nama Pengarang : I Ketut Suyaga Ayub, S.Th.
Penerbit : YPPII
Tahun Terbit : 1999
Jumlah Halaman : 139
Posisi Teologi Pengarang
I Ketut Suyaga Ayub, S.Th.
merupakan seorang teolog Timur lulusan Sekolah Tinggi Theologi Duta Wacana,
Salatiga, dan United Theological College Sydney, Australia untuk gelar Dip.
Theol. Aktif dalam gerakan oikumene dan mewujudkan kerja sama antar Gereja baik
secara nasional maupun internasional.
Susunan
Subtema
1. Latar
belakang Bali (politik, sosial dansuasana keagamaan).
2. Masuknya
Kabar Keselamatan (Injil) ke BaliPertemuan Injil dan kebudayaan
3. Usaha-usaha
jemaat baru menjadi Gereja yang dewasa dan berdiri sendiri (terbentuknya sinode
G.K.P.B.)
Contoh Argumentasi Penulis
Dalam Rangka mendukung Opininya
“Pertikaian
atau persoalan yang dialami oleh Gereja di Bali bukan karena peroalan theologis
(dogmatis), tetapi lebih condong karena persoalan materi, sebab berdiri sendiri
banyak diartikan lepas dari Gereja-gereja yang lain dan tidak menerima bantuan”.
Poin-poin
Penting
1.
Sejarah Gereja di Bali tidak
bisa lepas dari masuknya Belanda ke Indonesia.
2.
Bali memiliki kebudayaan
yang kental secara turun temurun yang terkait dengan keagamaan (Hindu Bali) dan
tidak dapat dipisahkan.
3.
Bali menerima Injil
4.
Kesungguh-sungguhan iman
mengikut Kristus mengalami ujian oleh pemimpin-pemimpin masyarakat bahkan
keluarga sendiri, karena Kristen dianggap sebagai agama Belanda dan sebagai
penghancur kebudayaan.
5.
Usaha-usaha P.I di Bali oleh
British and Foreign Bible Society, Christian Missionary Alliance dan Gereja
Kristen Jawi Wetan.
6.
Gereja berdiri sendiri dan
persoalan-persoalan yang dihadapi yang sebagian besar diakibatkan oleh
persoalan kebutuhan Gereja (persoalan materi) serta terbentuknya sinode Gereja
Kristen Protestan di Bali.
Kekuatan
Buku ini awalnya adalah sebuah skripsi Sarjana Theologia yang merupakan suatu penelitian dan study di bawah bimbingan Sekolah Tinggi Theologi Duta Wacana dan LPIS Satya Wacana, sehingga buku ini memiliki kekuatan dalam bidang sejarah karena metode penelitian yang penulis gunakan disamping metode book reseach dan metode komperatif, juga dipakai metode pengumpulan bahan-bahan yang berhubungan dengan Sejarah Gereja di Bali, serta metode wawancara. Selain itu, penulis sendiri berhubungan erat dengan sinode setempat, karena penulis pernah menggembalakan jemaat GKPB dan aktif berperan dalam organisasi sinode.
Kelebihan
Kelebihan buku ini dikarenakan cerita yang berupa sejarah dari awal secara terperinci sehingga begitu menarik untuk dibaca. Walaupun rincian sejarah yang dipaparkan terlihat “meloncat-loncat”, tetapi dibagian akhir penulis memberikan kesimpulan bahkan tinjauan serta analisa yang sangat membantu pembaca untuk mengerti alur cerita yang telah dipaparkan.
Ketajaman
Memaparkan dengan jelas dan rinci persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para penginjil dan metode-metode yang mereka gunakan supaya Bali dapat menerima Injil. Selain itu yang menjadi penekanan buku ini ialah persoalan yang terjadi dalam jemaat dalam proses menuju kedewasaan serta cara pemimpin-pemimpin menyelesaikan setiap permasalahan yang ada. Penekanan inilah yang menjadi pedoman bagi anak-anak Tuhan agar belajar dari masa lalu, sehingga kesalahan-kesalahan di masa lalu tidak terulang kembali, dan seandainya jika terjadi, maka cara untuk menyelesaikannya akan mudah ditemukan karena masalah yang sudah pernah terjadi sebelumnya itu juga sudah pernah diselesaikan.
Gaya
Penulisan
Buku ini ditulis dengan gaya penulisan sejarah yang menceritakan atau memaparkan cerita dengan rincian yang jelas. Penulisan buku ini tidaklah kaku, karena memiliki berbagai gaya bahasa yang digunakan, salah satu gaya bahasa yang digunakan ialah majas penegasan yang salah satunya ialah majas klimaks, yaitu gaya bahasa yang menyatakan suatu hal semakin lama semakin meningkat. Contoh kalimat dalam buku ini yang menggunakan majas penegasan klimaks ialah “pada mulanya pimpinan dipegang oleh orang Eropa, kemudian utusan Jawa dan akhirnya diserahkan kepada orang-orang Bali sendiri”.
KESIMPULAN
Masyarakat
Bali terdiri dari masyarakat-masyarakat desa yang hidup secara otonom.
Desa-desa di Bali ini merupakan sosial agama di mana agama sangat mempengaruhi
tindakan sosial mereka atau dengan kata lain sosial (adat) merupakan praktik
dari agama. Oleh sebab itu Hindu dan Bali merupakan kata yang tidak boleh
dipisah.
Namun
orang-orang Bali, merasa kurang puas dengan agama mereka karena mereka merasa
terbeban dengan mahal dan rumitnya menjalani kebudayaan atau adat istiadat
Bali yang juga merupakan bagian dari agama
mereka apalagi tidak ditemukan ajaran yang menjelaskan kemana tujuan mereka
setelah kehidupan di dunia ini. Hal inilah yang menjadi jalan pembuka masuknya
Injil di Bali yang mula-mula pada tahun (1587-1881), namun sempat terhenti
setelah terbunuhnya seorang pendeta utusan. Lalu pada tahun 1929 Salam Wangtias
seorang kolporteus pribumi memulai pekerjaannya hingga ke pelosok-pelosok Bali
menabur benih-benih Injil dengan menjual buku-buku Injil.
Pada
tahun 1930 datanglah Tsang To Hang ke Denpasar, dia merupakan utusan dari C.M.A
(Christian Missionary Alliace) yang
menekankan Hari Tuhan. Tetapi hal yang patut disayangkan ialah Tsang To Hang
terlalu keras dalam ajarannya dengan mengatakan puri-puri dan adat kebudayaan
Bali merupakan pekerjaan iblis yang harus dihancurkan. Oleh sebab itu
orang-orang Kristen pun membongkar sanggah-sanggah dan lain sebagainya yang ada
di sekitar mereka, sehingga banyak orang yang tersinggung. Akibat
ketersinggungan ini terjadilah kekacauan-kekacauan di desa-desa, orang Kristen
banyak mengalami aniaya, dirajam, sawah-sawah tidak diberi air, bahkan mati pun
tidak boleh dikubur selayaknya masyarakat yang lainnya, selain itu banyak lagi
penderitaan yang orang Kristen alami. Mulai dari peristiwa-peristiwa ini banyak
orang yang walaupun mau, tapi mereka takut untuk memeluk agama Kristen, karena
sudah pasti akan mengalami penolakan oleh masyarakat lainnya dan akibat lainnya
yang sangat fatal ialah penolakan terhadap badan-badan misi asing (luar negeri)
untuk melakukan pekabaran Injil kembali di Bali. Akan tetapi, tidak hanya itu,
di sinilah kemurnian iman orang-orang Kristen di Bali benar-benar teruji.
Tetapi
Tuhan benar-benar mengasihi Bali, sehingga Ia memakai GKJW yang dipelopori oleh Dr. H. Kreamer sehingga P.I di Bali
dijalankan kembali. Akan tetapi utusan-utusan GKJW dipandang kurang setia dan
takut menghadapi kekacauan oleh jemaat Bali, karena pada masa kedatangan Jepang
pada tahun 1942, mereka meninggalkan tugas-tugasnya di Bali untuk menyelamatkan
diri sendiri di saat orang-orang Kristen yang baru itu membutuhkan pimpinan
mereka (tentu dalam hal ini Jemaat Bali membandingkan mereka dengan sikap Tsang
To Hang yang berani).
Dr. H. Kreamer dari semula memiliki
cita-cita membentuk Gereja yang dewasa di Bali. Pada tahun 1947 terbentuklah
Gereja berdiri sendiri, namun karena kebutuhan yang tidak mencukupi dan keadaan
bertambah sulit maka timbullah ketegangan-ketegangan antara pihak yang kontra
dan pro Gereja berdiri sendiri, yang puncaknya pada akhir 1948. Masalah ini
dapat diselesaikan melalui beberapa sidang yang dilaksanakan pemimpin-pemimpin
Jemaat, sehingga pada tahun 20-21 April, bahkan terbentuklah sinode Gereja
Kristen Protestan di Bali (GKPB). GKPB ini tidak seperti semula yang berdiri
sendiri, namun berdiri bersama-sama dengan Gereja lain, walaupun awalnya masih
sebatas bersama GKJW dan Gereja Belandan saja. Akan tetapi pada tahun 1951,
GKPB mulai masuk dalam Oikumene, yaitu Cabang DGI di Indonesia bagian Timur,
yaitu di Makasar.
OPINI PEMBACA
·
Setiap anak-anak Tuhan yang
akan mengambil pelayanan di dalam Gereja memerlukan bekal untuk menghadapi
berbagai tantangan pelayanan yang akan dijalani. Oleh sebab itu sebelum masuk
ke dalam pelayanan, sebaiknya diadakan beberapa bimbingan oleh
pimpinan-pimpinan jemaat serta mempelajari sejarah Gereja setempat, karena
setiap permasalahan yang terjadi di dalam Gereja, sangat dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan dan masa lalu.
·
Sejarah Gereja khususnya
Gereja setempat perlu untuk diketahui dan dipelajari oleh semua jemaat, karena
Sejarah akan mengingatkan kembali perjuangan para pendahulu sehingga
terbentuklah Gereja setempat seperti saat ini.
·
Setiap Pekabar Injil
sebaiknya jangan mempoprokasi Jemaat untuk menentang adat istiadat setempat,
namun mengajarkan dan mendewasakan Jemaat akan kebenaran agar bisa mengerti apa
yang harus mereka lakukan.
·
Setiap Pekabaran Injil pasti
akan selalu bertemu dengan adat istiadat yang sudah melekat di Masyarakat. Oleh
sebab itu Jemaat yang menerima Injil perlu memiliki hikmat dan kedewasaan dalam
mengambil keputusan dengan tidak menentang adat istiadat setempat, melainkan
menghargai adat istiadat tersebut.
·
Menjadi Jemaat yang dewasa
sangatlah perlu, namun bukan berdiri sendiri dan tidak bekerja sama dengan
Gereja yang lain, melainkan bersatu dan bekerja sama dengan Gereja yang lain
sebagai sesama anggota Tubuh Kristus.
·
Jemaat sangat membutuhkan
keterlibatan seorang pemimpin khususnya dalam menghadapi masalah. Maka setiap
pemimpin Gereja haruslah menjadi teladan dalam menghadapi menghadapi masalah
bukan malah lari dari tanggung jawab dan menyelamatkan diri sendiri.
·
Percaya kepada Yesus berarti
siap akan keadaan tertolak oleh dunia. Maka setiap orang yang percaya kepada
Yesus haruslah bersungguh-sungguh mengikut Yesus, baik dalam suka maupun duka.
·
Jangan membiarkan diri
menjadi pribadi yang “egois” terhadap keselamatan, tetapi kabarkanlah Kabar
Sukacita itu kepada orang-orang mulai dari keluarga.
·
Setiap Gereja pasti akan
menghadapi berbagai permasalahan, bahkan permasalahan yang bisa menimbulkan
perpecahan dalam Gereja. Namun permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam
Jemaat dapat terselesaikan dengan adanya komunikasi yang baik dengan tidak
mementingkan diri sendiri.
·
Gereja yang baik bukan hanya
bersekutu untuk beribadah dan saling melayani sesama anggota jemaatnya,
melainkan yang juga memiliki program untuk melakukan misi. Oleh sebab itu
Gereja jangan hanya banyak menggunakan dana untuk acara-acara dan kemegahan
bangunan Gereja saja, tetapi juga mengalokasikannya secara rata untuk
kepentingan Pekabaran Injil juga.
0 Komentar