Institut Leimena: Pentingnya Pendidikan Pluralisme


Redaksi jurnalpelayanan.com - Jakarta. Mengemban peran strategis dalam presidensi G-20, bangsa Indonesia juga berpeluang dalam menunjukkan pentingnya pendidikan pluralisme atau lintas agama sebagai pendorong dunia keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19. Hal ini dibahas dalam webinar internasional bertema “Pendidikan Agama dan Lintas Agama untuk Masyarakat Majemuk yang Damai” yang diadakan Institut Leimena bersama The Sanneh Institute, Selasa (15/02) malam.

Wakil Presiden Forum Lintas Agama G20, Dr. Katherine Marshall, yang hadir sebagai salah satu narasumber mengatakan krisis yang dihadapi masyarakat global saat ini memperlihatkan adanya ketidaksetaraan, lemahnya kualitas pemerintahan, dan konflik antar berbagai kelompok berbeda.

“Saat ini Indonesia mempunyai kesempatan sebagai ketua dari Forum G20. Forum lintas agama G20 sendiri bertujuan memupuk suara keragaman lintas agama ke dalam diskusi global. Dengan pemerintah Indonesia sebagai ketua, ini sesuatu yang sangat bermakna,” kata Dr. Marshall.

Dr. Marshall, yang juga senior fellow di Georgetown University Amerika Serikat, menilai Indonesia bisa memanfaatkan kepemimpinannya di G20 untuk memastikan para pemimpin dunia tidak hanya terfokus pada isu-isu yang “mati”, misalnya arsitektur keuangan dan alokasi Special Drawing Rights (SDR) dari Dana Moneter Internasional (IMF). Sebaliknya, pemimpin dunia bisa melihat pelajaran yang muncul dari kedaruratan Covid-19 untuk pendidikan terutama pendidikan keberagaman.

Direktur Eksekutif The Sanneh Institute, Dr. John Azumah, mengatakan Afrika merupakan negara yang sangat plural karena memiliki banyak keragaman agama. Di Afrika, lazim ditemui 3-4 agama dalam suatu keluarga.

The Sanneh Institute adalah lembaga berbasis di Ghana, Afrika Barat, berisi komunitas ilmiah yang didedikasikan untuk memperlengkapi dan menyediakan sumber daya bagi pemimpin agama, cendekiawan, lembaga akademik, dan masyarakat Afrika lewat penyelidikan lebih lanjut.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti mengatakan Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang mengembangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) pluralistis dimana para siswa Kristen di lembaga itu bisa mendapatkan pelajaran agama Kristen. PAI pluralistis bukan sinkretisme (pencampuran ajaran agama), tapi mendorong pengamalan ajaran agama dan menumbuhkan toleransi.

“Itulah sebabnya beberapa murid kami menjadi seorang Kristen Muhammadiyah. Pemeluk agama Kristen atau Katolik, tapi pada saat bersamaan menjadi simpatisan dari organisasi Muhammadiyah, bahkan aktif di beberapa gerakan,” kata Prof Mu’ti.

Senior Fellow Institut Leimena dan Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Prof Alwi Shihab, memberi contoh hubungan tidak bersahabat selama berabad-abad antara agama Abrahamik yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Perasaan getir dan permusuhan, diperkuat oleh literatur berupa opini dan fatwa yang diproduksi dalam situasi permusuhan oleh sebagian pemuka agama masing-masing.

“Adalah tanggung jawab kolektif para pendidik dan pemuka agama masing-masing untuk introspeksi diri dan berusaha kembali ke sikap dan pandangan yang lebih bersahabat. Tujuan ini tidak mungkin tercapai kecuali melalui pendidikan untuk mengoreksi hal-hal yang merupakan sumber konflik dan permusuhan,” kata menteri luar negeri tahun 1999-2001 itu.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan pendidikan agama berperan penting dalam masyarakat majemuk karena mempengaruhi bagaimana kita melihat dan memperlakukan mereka yang berbeda agama dan kepercayaan.

Sumber: Rilis Media Institut Leimena tanggal 11 Maret 2022.

Posting Komentar

0 Komentar