Peristiwa
bom bunuh diri di depan gereja Katedral Kota Makassar beberapa hari lalu
kembali mengagetkan kita semua sekaligus mencabik-cabik kembali kedamaian yang
selama ini kita rangkai. Ibarat menyusun puzzle kesatuan dan kedamaian, ketika
ulah bomber yang tidak beradab kembali mengemuka maka seolah kita harus menata
dan menyusun kembali puzzle tersebut.
Persoalannya adalah membangun suatu
perdamaian dan persatuan itu tidaklah mudah, perlu waktu dan proses yang intens
apabila dibandingkan dengan ulah segelintir oknum perusak perdamaian yang hanya
sesaat bisa meluluhlantahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Tafsiran Eksklusif
Kejadian seperti di depan Gereja
Katedral Makassar dan mungkin beberapa teror bom yang terjadi sebelumnya adalah
akibat dari pola pemahaman dan pemikiran yang keliru terhadap teks ajaran
agama, di samping tentunya ada faktor-faktor lain yang melingkupinya seperti
ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Pemahaman dan penafsiran yang keliru
tersebut pada akhirnya diyakini sebagai satu-satunya kebenaran dan lebih
fatalnya lagi dijadikan pembenaran (justifikasi) atas tindakan bom bunuh
dirinya tersebut.
Mengenai tafsiran atas teks suci
dalam sebuah agama, ada hal menarik yang diungkapkan seorang Ulil Abshar
Abdalla dalam sebuah tulisannya, “Manusia yang melakukan kegiatan penafsiran
banyak jumlahnya, dan karena itu penafsiran akan selalu banyak dan beragam. Teks
suci dalam agama tertentu memang satu. Tetapi penafsiran atas teks itu tidaklah
mufrad/tunggal, melainkan jamak/banyak. Keragaman tafsir adalah “nasib” yang
tak terhindarkan dalam komunitas agama manapun.Yang lebih penting menjadi
perhatian semua pihak dalam komunitas agama, teks suci tidak bisa bekerja
sendirian. Teks suci harus disertai oleh hal lain, yaitu penafsiran atau
interpretasi. Tentu saja, agen yang bisa melakukan kegiatan penafsiran hanyalah
manusia, bukan malaikat atau binatang. Tak ada teks suci yang berdiri sendiri,
terisolasi, tanpa adanya seorang penafsir yang melakukan kegiatan penafsiran.”
Berdasarkan pemikiran di atas,
sangatlah tepat kalau masing-masing kita selaku umat beragama wajib untuk
meluruskan kembali tafsiran-tafsiran yang kurang tepat terhadap teks ajaran
agama. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberantas tindakan-tindakan
terorisme yang tidak diizinkan oleh agama manapun. Pada prinsipnya kita wajib
meyakini kebenaran agama kita, namun hal tersebut tidak lantas menjadikan
penafsiran kita adalah satu-satunya kebenaran mutlak dan menganggap orang lain
yang berbeda dengan pemahaman kita adalah salah semua.
Jadilah Agen Moderasi Beragama
Persoalan penting buat kita adalah
bagaimana upaya yang mesti kita lakukan dalam rangka mengobati dan
mengantisipasi virus terorisme selama ini. Terorisme pada lahirnya memang ada,
akan tetapi hal yang sangat menyesakkan kita adalah ketika ajaran terorisme
tersebut dikaitkan dengan ajaran agama/kepercayaan tertentu hanya karena
melihat sepintas pelaku bom bunuh diri tersebut dengan ajaran agama yang
dianutnya.
Mengaitkan oknum pelaku pengeboman
dengan ajaran sebuah agama memang berlandaskan pada anggapan ihwal penafsiran
si pelaku tersebut terhadap landasan/keterangan yang ada pada masing-masing
ajaran agama bersangkutan. Padahal pada hakikatnya tidak ada sebuah ajaran pun
yang menyuruh atau melegalkan perbuatan inkonstitusional menurut syariat/hukum
apapun juga peradaban manapun.
Memahami agama dan beragama secara
moderat adalah sebuah solusi menuju kedamaian dan persatuan antar sesama
manusia. Makna moderat dalam terminologi Islam disebut dengan
tawasuth/wasathiyah, lawan katanya adalah tatharruf/tasyaddud yang mengandung
arti ekstrim. Moderasi beragama bermakna proses memahami sekaligus mengamalkan
ajaran agama secara adil (i’tidal) dan seimbang (tawazun), agar terhindar dari
perilaku yang menyimpang yang tidak diajarkan di dalam agama.
Prof. Quraisy Shihab pernah
mencontohkan perilaku moderat dalam keseharian manusia di antaranya: sikap
dermawan itu adalah kondisi moderat di antara kikir dan boros, sikap berani itu
adalah kondisi moderat di antara takut dan nekat.
Pada akhirnya kita harus berpikir
dan berusaha menciptakan sebuah generasi penuh kedamaian. Penanaman nilai-nilai
perdamaian ini semestinya harus dimulai sejak dini, berawal dari
keluarga-lingkungan masyarakat-dan lingkup yang lebih luas dari itu. Pemberian
ajaran-ajaran perdamaian lewat bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat pun
layak dimulai, dipertahankan, dan ditingkatkan. Penyamaan visi-misi ajaran
perdamaian jika sudah dilakukan secara masif tentunya akan memberikan dampak
positif yang signifikan. Karena memang mencegah atau mengantisipasi peristiwa
pengeboman atau bentuk terorisme lainnya lebih berat dari pada mengobatinya. Wallahu’lam bisshawwab.
(Sumber : https://kemenag.go.id/berita/read/515728/menjadi-agen-moderasi-beragama)
0 Komentar